A.
Islamisasi
Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan lahir sebagai
koreksi dari ilmu-ilmu modern yang dihasilkan oleh dunia Barat yang cenderung
bebas nilai dari tuntunan wahyu. Secara ontologis, Islamisasi ilmu pengetahuan
memandang bahwa realitas alam semesta, realitas sosial dan historis ada
hukum-hukum yang mengatur dan hukum itu adalah ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan
Allah, maka realitas alam semesta tidak netral tapi mempunyai maksud dan
tujuan. Hal ini disinyalir dalam firman Allah SWT dalam QS. Al Imran (3): 191
Artinya: "Ya Tuhan kami Engkau tidak menciptakan
ini (alam) dengan sia-sia"
Islamisasi ilmu pengetahuan dalam tataran
epistimologinya mengkaji ayat-ayat al-Qur'an karena sebagian ayat al-Qur'an
memasuki wilayah kajian empiris dan historis sehingga kebenaran pernyataannya
terbuka untuk dibuktikan dan dihadapkan dengan metodologi keilmuan. Bahkan ayat
yang pertama turun berkenaan dengan perintah membaca juga segala upaya
penelitian ilmiah yang bermaksud mendemonstrasikan revolusi ilmiah (QS.
Al-Alaq: 1-5). Islamisasi ilmu pengetahuan secara aksiologi memandang bahwa
ilmu pengetahuan itu sarat dengan nilai-nilai moral (moral value) dengan kata lain ilmu itu tidak netral nilai
melainkan dalam ilmu pengetahuan itu terkandung nilai-nilai luhur berdasarkan
ajaran Islam yang mengkristal pada akar-akar Ilahi.
Seorang sarjana terkemuka yang sangat
memperhatikan masalah islamisasi ilmu pengetahuan adalah Ismail Raji al-Faruqi
sebagaimana dikutip oleh Ziaduddin Sardan, dalam bukunya Jihad
Intelektual. Mengatakan bahwa ilmu pengetahuan
yang sifatnya dualisme (sistem Islam dan
sistem sekuler) harus dihilangkan dan dihapuskan. Dan kedua sistem ini harus
digabungkan dan diintegrasikan sementara sistem yang akan muncul harus diwarnai
dengan spirit Islam dan berfungsi sebagai bagian integral dari idiologi. Dengan
demikian islamisasi ilmu pengetahuan menjadi penting bagi kita khususnya umat
Islam guna mengcounter
pengaruh-pengaruh sekularisasi Barat yang bebas nilai.
B.
Tinjauan epistemologi megenai sekularisasi ilmu pengetahuan
Secara
formal epistemologi sekularisasi ilmu pengetahuan berbentuk rasionalisme dan
empirisme. Di mana memandang ilmu pengetahuan berdasarkan pengamatan empiris
dan menelaah secara rasio bukan keyakinan “iman” sebagai penilai.
Sesuai
dengan epistimologi sekularisme yakni rasionalisme dan empirisme, membuat
sekularisasi harus mempertahankan keobjektifan tujuannya dengan mentaati
aturannya sendiri dengan menghindarkan ilmu pengetahuan selalu terkait dengan
agama, pandangan hidup, tradisi dan semua yang bersifat normatif guna menjaga
realitas ilmu pengetahuan sebagai suatu yang independen dan objektif. Rasio pun dianggap sebagai alat pengetahuan
yang objektif dapat melihat realitas konstan, yang tidak pernah berubah-ubah, dan
dengan empiris memandang ilmu pengetahuan yang absah harus melalui pengalaman.
Dengan
rasio dan empirismenya, sekularisasi ilmu pengetahuan secara ilmiah memandang
alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud, karena alam adalah benda mati yang
netral dan tujuannya sangat ditentukan oleh manusia sendiri. Sehingga manusia
dengan segala daya dan upayanya yang dimilikinya mengeksploitasi alam untuk
kepentingan manusia semata.
Apabila
dilihat dari realita bahwa ilmu pengetahuan mulai berkembang pada tahapan
ontologis, manusia berpendapat bahwa terdapat
hukum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang menguasai
gejala-gejala empiris. Sehingga dalam menghadapi masalah tertentu, manusia
mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang menungkinkan
manusia mengenal wujud masalah itu untuk kemudian dan menelaah dan mencari
pemecahan jawabannya. Dalam usaha memecahkan masalah tersebut maka ilmu
pengetahuan tidak berpaling kepada perasaan melainkan kepada pemikiran yang
berdasarkan pada penalaran. Dalam hal
ini ilmu pengetahuan menyadari bahwa masalah yang dihadapinya adalah masalah
yang bersifat kongkrit yan terdapat dalam dunia nyata, sehingga secara ilmu
pengetahuan, masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat pada ruang
jangkuan pengalaman manusia. Hal ini harus kita sadari karena inilah yang memisahkan daerah ilmu
pengetahuan dan agama.
Lebih
jauh lagi Norcholis Madjid mengemukakan
bahwa dalam proses penduniawian terjadi
pemberian perhatian yang lebih besar daripada sebelumnya kepada kehidupan
duniawi ini. Dalam lebih memperhatikan kehidupan duniawi itu , telah tercakup
pula sikap yang objektif dalam menelaah
hukum-hukm yang menguasainya, dan mengadakan penyimpulan-penyimpulan
yang jujur. Pengetahuan mutlak
diperlukan guna memperoleh ketepatan setinggi-tingginya dalam memecahkan
masalah-masalahnya. Dan disinilah sebenarnya letak peranan ilmu pengetahuan.
Suatu
faham atau aliran terdapat ajaran pokok sebagai landasan dalam berfikir
termasuk sekularisasi. Adapun ajaran-ajaran pokok sekularisasi ilmu pengetahuan yaitu :
1)
Prinsip-prinsip esensial dalam mencari
kemajuan dengan alat material semata-mata.
2)
Etika dan moralitas didasarkan pada
kebenaran ilmiah tanpa ada ikatan agama dan metafisika, segalanya ditentukan
oleh kriteria ilmiah yang dapat dipercaya dan yang bersifat vaiditas.
3)
Masih mengakui agama pada batas tertentu
dengan ketentuan agama tidak boleh
mengatur urusan dunia melainkan hanya mengatur tentang akhirat belaka.
4)
Menekankan perlunya toleransi semua
golongan masyarakat tanpa mengenal perbedaan agama.
5)
Menjunjung tinggi penggunaan rasio dan
kecerdasan
Satu
hal yang serta kaitannya dengan rasionalisasi yang merupakan salah satu ciri dari sekularisasi ialah upaya untuk mencari cara yang secara
teknis efesien demi mengurangi resiko dalam berbagai hal yang bersifat duniawi.
Salah satu bentuknya yang nyata ialah teknologi. Mesin-mesin yang berteknologi
tinggi dan efesien serta berbagai prosedur telah dirancang untuk mengurangi
ketidakpastian, dan akibatnya hal ini telah mengurangi ketergantungan kepada
keyakinan agama. Wilayah dimana agama menawarkan penjelasan yang bersifat
doktriner dan hasil yang hampir pasti
serta dapat diprediksi kini menjadi hilang maknanya. Petani-petani yantg
inovatif menemukan bahwa rotasi panen ternyata lebih ditentukan oleh tindakan
membersihkan tanah dari semak-semak dan parasit dibandingkan memanjatkan doa.
Perkembangan rasionalitas teknis secara perlahan menggantikan pengaruh
supernatural dan pertimbangan moral, dan hal ini meluas di berbagai bidang
kehidupan.
Satu
hal yang perlu diterangkan dalam hubungannya dengan sekularisasi ini, yaitu
konsep Islam tentang adanya “Hari Dunia” dan “Hari Agama”. Mengingkari adanya
konsep yang cukup tegas itu, hayalah terbit dari gejala kecendrungan
apologetis. Keterangan tentang hari agama dalam
kitab suci, kita semuanya mengetahuinya. Dan secara tegas dalam kitab
suci Al-Qur’an di Surah Al-Infithar (82) ayat 17-19. Menarik kesimpulan dari
ayat ini, maka hari agama ialah masa ketika hukum-hukum yang mengatur hubungan
antar manusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku adalah hubungan antara
manusia dengan Tuhan, yang terjadi sepenuhnya secara individual. Dengan
perkataan lain, pada waktu itu tidak berlaku lagi hukum-hukum sekuler atau dunia, dan yang
berlaku ialah hukum-hukm ukhrawi.
Sebaliknya,
pada hari dunia yang sekarang sedang kita jalani ini, belum berlaku hukum-hukum
akhirat. Hukum yang mengatur perikehidupan kita ialah hukum-hukum kemasyarakatan
manusia. Memang hukum-hukum itu bukan
ciptaan manusia sendiri, melanikan juga ciptaan Tuhan (sunnatullah), tetapi
hukum itu tidak diterangkan sebagai doktrin-doktrin agama. Dan manusia
sendirilah yang harus berusaha memahaminya, dengan bekal kecerdasan yang telah
dianugerahkan kepadanya, kemudian memanfaatkan pengetahuannya itu untuk
mengatur perikehidupan masyarakatnya lebih lanjut.
Oleh
karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dengan rasionalisme dan
empirisme, sebab inti sekularisasi adalah pemahaman masalah dunia dengan
mengarahkan kecerdasan rasio. Konsekwensi epistimologi sekuler dari segi
aksiologi menyebabkan ilmu itu bebas nilai, karena nilai hanya diberikan oleh
manusia pemakainya.
Masalah
nilai dalam perkembangan ilmu sudah disoroti, terutama pada masa Copernicus
pada abad ke-16 yang mwengemukakan bahwa bumi mengelilingi matahari sedangkan
agama pada waktu itu menyebutkan
matahari yang mengelilingi bumi. Timbullah suatu konflik antara ilmu yang ingin
mempelajari alam sebagaimana adanya, dengan sikap yang berpendapat bahwa ilmu
harus didasarkan pada nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar
bidang keilmuan seperti agama. Perkembangan selanjutnya, para ilmuan berhasil
memperoleh kemenangan agar ilmu bebas nilai. Artinya ilmu mempunyai otonomi
untuk berkembang dengan tidak dipengaruhi nilai-nilai yang bersifat dogmatis,
karena bebas nilai maka ilmu tidak boleh mempunyai tanggung jawab moral.
Akhirnya ilmu berkembang untuk ilmu, mempunyai kebebasan bergerak kemanapun
arahnya.
C.
MANFAAT MEMPELAJARI FILSAFAT ILMU DAN ILMU
PENGETAHUAN
Menurut Narold
H. Titus, filsafat adalah suatu usaha untuk memahami alam semesta, maknanya dan
nilainya. Filsafat adalah kreatif, menerapkan nilai, menerapkan tujuan,
menentukan arah, dan menentukan pada jalan baru. Filsafat tidak ada artinya
apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.
Mempelajari
filsafat Islam sekurang-kurangnya ada lima manfaat, yaitu
1. agar
terlatih berpikir serius;
2. agar mampu
memahami filsafat secara menyeluruh;
3. agar
menjadi filsuf walaupun dalam bidang tertentu;
4. agar
sungguh-sungguh dalam belajar mendalami suatu ilmu;
5. agar
menjadi warga negara yang baik, patuh, dan produktif.
Secara konkret
manfaat mempelajari filsafat adalah sebagai berikut :
1. Dapat
menolong, mendidik, membangun diri sendiri untuk berpikir lebih mendalam dan
menyadari bahwa ia adalah makhluk Tuhan.
2. Dapat
memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan-persoalan
dalam hidup sehari-hari.
3. Dapat
memberikan pandangan yang luas, membendung akuisme, dan akusentrisme.
4. Dapat
melatih untuk berpikir cemerlang sehingga tidak hanya ikut-ikut saja, membuntut
pada pandangan umum.
5. Dapat
memberi dasar-dasar hidup dalam etika dan ilmu-ilmu pengetahuan seperti
sosiologi, ilmu jiwa, ilmu pendidikan, dan ilmu-ilmu lainnya yang bermanfaat
untuk kehidupan.
a. Ilmu Pengetahuan Agama.
Pada ilmu pengetahuan keagamaan, menurut pandangan Al-Ghazali disebut
dengan al-ulum al-syari’ah merupakan ilmu-ilmu yang diperoleh dari
nabi-nabi dan tidak hadir melalui akal, seperti aritmatika; atau melalui riset,
seperti ilmu kedokteran atau melalui pendengaran, seperti ilmu bahasa.
Sedangkan ilmu-ilmu umum atau yang disebut dengan ilmu intlektual (al-ulum
al-aqliyah) adalah berbagai ilmu yang dicapai atau diperoleh melalui intelek
manusia semata.
Menurut Al-Syirazi, ilmu-ilmu agama itu dikategorikan ilmu-ilmu nonfilsafat
(al-ulum ghairu hykmy). Ilmu-ilmu relegius diklasifikasikan menurut cara yang
berbeda: (1) klasifikasi dalam ilmu-ilmu naqly dan ilmu-ilmu intelektual
(aqly); (2) klasifikasi dalam ilmu tentang pokok-pokok (usul) dan ilmu tentang
cabang-cabang (furu’).
Sedangkan Al-Farabi memasukkan ilmu-ilmu relegius pada kategori ilmu
yurisprudensi dan teologisdialektis, meski ia tetap memasukkannya pada
klasifikasi ilmu-ilmu filosofis. “Yurisprudensi” berhubungan dengan rukun iman
dan ritus-ritus relegius dan perintah moral legal. Sedangkan teologis dialektis
ini berkaitan dengan (1) rukun iman; (2) aturan-aturan relegius.
Ditinjau dari berbagai sudut pandang para cendikiawan Islam pada abad
pertenganhan itu dapat dibedakan bahwa keilmuan Islam dengan berbagai
penyebutannya: ilmu relegius, ilmu fardu ‘ain, ilmu non filsafat, ilmu
yurisprudensi (fiqh) teologis dialektis dan sebagainya, berasas pada
prinsif-prinsif ketuhanan (wahyu) dan kenabian (sunnah) tanpa harus
mempertimbangkan potensi ‘aqal dalam implementasinya.
b. Ilmu Pengetahuan Umum.
Ilmu-ilmu pengetahuan umum (al-ulum al-aqliyah) adalah ilmu yang dicapai
atau diperoleh melalui pemikiran manusia semata. Al-Ghazali membagi kategori
ilmu-ilmu umum ke dalam beberapa ilmu, Yaitu: (1) matematika (aritmatika,
geometri, astronomi dan astrologi serta musik (2) Logika (3) Fisika atau ilmu
alam (kedokteran, meteorologi, minerologi dan kimia. (4) Ilmu-ilmu tentang
wujud di luar alam atau metafisika (ontologi, pengetahuan tentang esensi, sifat
dan aktifitas ilahi, pengetahuan tentang substansi sederhana yaitu interligensi
dan substansi malakut, pengetahuan tentang dunia halus, ilmu tentang kenabian
dan fenomena kewalian, ilmu tentang mimpi, dan teurgi yakni ilmu menggunakan
keuatan-kekuatan bumiuntuk menghasilkan efek tampak seperti supernatural.
Dari paradigma ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama di atas, menunjukkan
semacam dikotomi di atara keduannya. Al-Ghazali misalnya mendikotomikan ilmu
pengetahuan ke dalam ilmu relegius (agama) dan ilmu intelektual (umum)
dilakukan dengan maksud untuk mempermudah untuk mengetahui klasifikasinya
tentang ilmu pengetahuan ke dalam kategori ilmu fardlu ‘ain dan fardlu kifayah.
Meski demikian Al-Ghazali tidak memandang ilmu pengetahuan umum dan agama
bertentangan. Karena keduanya saling melengkapi. Keterbatasan akal sebagai
sumber pengetahuan umum, mengharuskan padanya bimbingan wahyu yang sumber
pengetahuan Islam. Demikian juga dalam memahami ilmu-ilmu agama sumbernya
adalah wahyu memerlukan interpretasi akal (rasional).
Menurut Naquib Al-Attas, kebanyakan ilmu dan disiplin ilmu, khususnya yang
mendapat pengaruh filsafat Yunani (Aristoteles dan Meoplatonisme) pada kemajuan
Islam telah di Islamkan oleh pelbagai cendikiawan dan cerdik pandai yang
memiliki otoritas di bidangnya dan mendapatkan pendidikan yang mengintegrasikan
dua kategori fardu ‘ain dan fardlu kifayah serta menguasai ilmu-ilmu yang
relevan. Diantaranya seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sunah, yang telah
berusaha keras mengintegrasikan asfek-asfek tertentu dari elemen-elemen
filsafat Yunani ke dalam pandangan dunia Islam.
Kemudian kenyataan yang dapat di lihat seperti sebuah prestasi yang tidak
tertandingi adalah kemampuan ummat Islam dalam mengembangkan ilmu-ilmu baru
yang diilhami Islam, seperti ilmu tafsir al-Quran dan ilmu hukum (fiqh) oleh
Malik, Abu Hanifah, dan Syafi’i, teologi (kalam) oleh Asy-Ari dan Al-Maturidi,
Psikologi spiritual-kognitif dan behavioral oleh sufi, perbandingan agama oleh
Bairuni, Al-Syahrastani, Ibnu Hizm dan lain-lain.
D. URGENSI EPISTEMOLOGI ISLAM
Epistemologi,
biasanya didefinisikan sebagai cabang ilmu filsafat yang membahas ilmu
pengetahuan secara menyeluruh dan mendasar. Secara ringkas, epistemology
disebut juga sebagai “theory of
knowledge” atau teori ilmu pengetahuan.[1]
Epistemology
berbicara tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana manusia bisa meraih ilmu.
Sementara itu, Knowledge atau ilmu
pengetahuan merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia.
Islam khususnya, agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan. Sebut saja
Al-Qur’an, kitab ini begitu besar perhatiannya terhadap aktivitas pemikiran dan
keilmuan. Tergambar dari penyebutan kata “al-ilmu’
mencapai 823 kali di dalam AL-Qur’an.
a. Islam
Ilmu Yang Jelas
Kita tahu bahwa Nabi
pertama menurut Ilmu yang di dapat ialah Adam A.S, dan ilmu yang pertama kali
diajarkan kepada Adam a.s adalah pengetahuan mengenai nama-nama benda.[2]
Kemudian wahyu yang pertama diturunkan kepada Muhammad saw, berkaitan dengan
perintah membaca (iqra) dan menulis
yang disimbolkan dengan “pena”. Wahyu ini pun sudah berbicara tentang proses
penciptaan manusia yang berasal dari “al
alaq” (sesuatu yang melekat). Namun dingatkan sejak awal bahwa proses
membaca dan belajar tidak boleh dipisahkan dari dasar keimanan.[3]
Semua harus dilakukan
dengan Nama Allah swt “iqra bismirabbikalladzi khalaq”. Karena itulah tradisi
ilmu dalam islam itu sejak awal sudah bersiafat “tauhidiy”, tidak sekuler, tidak mendikotomikan antara unsur dunia
dan unsur akhirat, antara ilmu-ilmu dunia dan ilmu akhirat. Ingat bahwa semua
ilmu itu bermuara pada satu tujuan, yaitu untuk menganal (ma’rifah) kepada Allah swt dan mencintai ibadah kepadaNya.
Al-Qur’an begitu banyak
memuat ayat-ayat yang mendorong umat manusia untuk senantiasa meningkatkan
keilmuannya. Bahkan, akyivitas sehari-hari pun harus ditandai dengan aktivitas
keilmuan atau yang terkait dengan ilmu. Karena itu, islam sangat menekankan
bahwa ada perbedaan antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.
Orang yang berilmu dan beriman, akan diangkat derajatnya. Sebagai mana Wahyu
Allah swt:
“….katakanlah,
tidaklah sama orang yang tahu dan orang yang tidak tahu…” (Az-Zumar:9)
“…Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang
diberi ilmu, beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11).
Sabda Rasulullah saw:
“Barang
siapa yang dikehendaki Allah dengan kebaikan, maka Allah akan menjadikannya
Faqih (memahami dengan baik) dalam masalah agama dan mengilhami petunjukNya” Muttafaq
‘alaih
Para pencari ilmu juga
diberika penghargaan yang sangat tinggi. Kaum muslimin khususnya harus bisa
bahkan wajib memanfaatkan dengan sekuat tenaga untuk mencari ilmu (thalabul ilmi). Selain pahalanya yang
sangat besar, ilmu juga menjadi landasan keimanan dn landasan amal. Banyak
orang yang terperdaya oleh nikmat sehat dan kelonggaran, sehingga tidak dapat
memanfaatkan waktu itu dengan baik. Rasulullah saw bersabda :
“dua
kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat kesehatan dan nikmat waktu
lapang.” (H.R.Bukhari)
Maka jelas sudah
menjadi kewajiban kita bersam untuk bisa memanfaatkan waktu kita sebaik
mungkin, dan selalu bersyukur atas apa yag Allah berikan kepad kita dan kita
harus terus semangat di dalam mencari ilmu agar mampu menegakkan kebenaran dan
menghilangkan kejelekan.
b.
Tujuan
Ilmu
Karena memang kedudukan
ilmu itu mulia, maka tentu ilmu memiliki tujuan yang mulia pula. Dalam islam,
tujuan utama dari ilmu adalah untuk mengenal Allah swt dan meraih kebahagiaan (sa’adah), sebab ilmu mengkaji tentang
ayat-ayat (tanda-tanda) keagungan
Allah swt.
c.
Fakta
Sejarah
Konsep islam tentang
ilmu yang integral sudah pernah terbukti dan diaplikasikan dalam sejarah.
Fakta-fakta perkembangan sejarah sains selama ratusan tahun di dunia
islam-termasuk di barat (Andalusia) membuktikan bahwa untuk meraih perkembangan
sains yang tinggi bisa diraih dengan konsepsi sains yang tidak sekuler yakni
sains yang berbasis pada konsep tauhid.
Seorang sejarawan asal
Irlandia, Tim Wallace Murphy, dalam bukunya what
islam did for us: (London; Watkins Publishing, 2006), menggambarkan
kejayaan keilmuan islam yang kemudian memberikan jasa besar dalam perkembangan
ilmu pengetahuan modern di barat. Ia membuat perbandingan kehidupan peradaban
islam dan peradaban barat di masa kejayaan islam di Andalusia (Spanyol).
Berdasarkan kajiannya
yang cukup serius terhadap sejarah hubungan barat dan islam, beliau mengajak
barat untuk tidak memandang Islam sebelah mata, sehingga menganggap kaum muslim
harus diajari dan didekte untuk menyelesaikan masalah mereka. Ia yakin, kaum
muslim mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Dan berkat prinsif-prinsif dasar
keimananya, maka islam akan mampu mewujudkan kehidupan yang penuh kedamaian dan
penuh toleransi terhadap agama dan budaya lain.