Sabtu, 25 Juni 2016

ilmu pengetahuan

A.    Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan lahir sebagai koreksi dari ilmu-ilmu modern yang dihasilkan oleh dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu. Secara ontologis, Islamisasi ilmu pengetahuan memandang bahwa realitas alam semesta, realitas sosial dan historis ada hukum-hukum yang mengatur dan hukum itu adalah ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Allah, maka realitas alam semesta tidak netral tapi mempunyai maksud dan tujuan. Hal ini disinyalir dalam firman Allah SWT dalam QS. Al Imran (3): 191


Artinya: "Ya Tuhan kami Engkau tidak menciptakan ini (alam) dengan sia-sia"
Islamisasi ilmu pengetahuan dalam tataran epistimologinya mengkaji ayat-ayat al-Qur'an karena sebagian ayat al-Qur'an memasuki wilayah kajian empiris dan historis sehingga kebenaran pernyataannya terbuka untuk dibuktikan dan dihadapkan dengan metodologi keilmuan. Bahkan ayat yang pertama turun berkenaan dengan perintah membaca juga segala upaya penelitian ilmiah yang bermaksud mendemonstrasikan revolusi ilmiah (QS. Al-Alaq: 1-5). Islamisasi ilmu pengetahuan secara aksiologi memandang bahwa ilmu pengetahuan itu sarat dengan nilai-nilai moral (moral value) dengan kata lain ilmu itu tidak netral nilai melainkan dalam ilmu pengetahuan itu terkandung nilai-nilai luhur berdasarkan ajaran Islam yang mengkristal pada akar-akar Ilahi.
Seorang sarjana terkemuka yang sangat memperhatikan masalah islamisasi ilmu pengetahuan adalah Ismail Raji al-Faruqi sebagaimana dikutip oleh Ziaduddin Sardan, dalam bukunya Jihad Intelektual.  Mengatakan bahwa ilmu pengetahuan yang sifatnya  dualisme (sistem Islam dan sistem sekuler) harus dihilangkan dan dihapuskan. Dan kedua sistem ini harus digabungkan dan diintegrasikan sementara sistem yang akan muncul harus diwarnai dengan spirit Islam dan berfungsi sebagai bagian integral dari idiologi. Dengan demikian islamisasi ilmu pengetahuan menjadi penting bagi kita khususnya umat Islam guna mengcounter pengaruh-pengaruh sekularisasi Barat yang bebas nilai.




B. Tinjauan epistemologi megenai sekularisasi ilmu pengetahuan
Secara formal epistemologi sekularisasi ilmu pengetahuan berbentuk rasionalisme dan empirisme. Di mana memandang ilmu pengetahuan berdasarkan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio bukan keyakinan “iman” sebagai penilai.
Sesuai dengan epistimologi sekularisme yakni rasionalisme dan empirisme, membuat sekularisasi harus mempertahankan keobjektifan tujuannya dengan mentaati aturannya sendiri dengan menghindarkan ilmu pengetahuan selalu terkait dengan agama, pandangan hidup, tradisi dan semua yang bersifat normatif guna menjaga realitas ilmu pengetahuan sebagai suatu yang independen dan objektif.  Rasio pun dianggap sebagai alat pengetahuan yang objektif dapat melihat realitas konstan, yang tidak pernah berubah-ubah, dan dengan empiris memandang ilmu pengetahuan yang absah harus melalui pengalaman.
Dengan rasio dan empirismenya, sekularisasi ilmu pengetahuan secara ilmiah memandang alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud, karena alam adalah benda mati yang netral dan tujuannya sangat ditentukan oleh manusia sendiri. Sehingga manusia dengan segala daya dan upayanya yang dimilikinya mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia semata.
Apabila dilihat dari realita bahwa ilmu pengetahuan mulai berkembang pada tahapan ontologis,  manusia berpendapat bahwa terdapat hukum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang menguasai gejala-gejala empiris. Sehingga dalam menghadapi masalah tertentu, manusia mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang menungkinkan manusia mengenal wujud masalah itu untuk kemudian dan menelaah dan mencari pemecahan jawabannya. Dalam usaha memecahkan masalah tersebut maka ilmu pengetahuan tidak berpaling kepada perasaan melainkan kepada pemikiran yang berdasarkan pada penalaran.   Dalam hal ini ilmu pengetahuan menyadari bahwa masalah yang dihadapinya adalah masalah yang bersifat kongkrit yan terdapat dalam dunia nyata, sehingga secara ilmu pengetahuan, masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkuan pengalaman manusia. Hal ini harus kita sadari  karena inilah yang memisahkan daerah ilmu pengetahuan dan agama.
Lebih jauh lagi  Norcholis Madjid mengemukakan bahwa dalam proses penduniawian  terjadi pemberian perhatian yang lebih besar daripada sebelumnya kepada kehidupan duniawi ini. Dalam lebih memperhatikan kehidupan duniawi itu , telah tercakup pula sikap yang objektif dalam menelaah  hukum-hukm yang menguasainya, dan mengadakan penyimpulan-penyimpulan yang  jujur. Pengetahuan mutlak diperlukan guna memperoleh ketepatan setinggi-tingginya dalam memecahkan masalah-masalahnya. Dan disinilah sebenarnya letak peranan ilmu pengetahuan.
Suatu faham atau aliran terdapat ajaran pokok sebagai landasan dalam berfikir termasuk sekularisasi. Adapun ajaran-ajaran pokok sekularisasi ilmu pengetahuan   yaitu :
1)      Prinsip-prinsip esensial dalam mencari kemajuan dengan alat material semata-mata.
2)      Etika dan moralitas didasarkan pada kebenaran ilmiah tanpa ada ikatan agama dan metafisika, segalanya ditentukan oleh kriteria ilmiah yang dapat dipercaya dan yang bersifat vaiditas.
3)      Masih mengakui agama pada batas tertentu dengan ketentuan agama tidak  boleh mengatur urusan dunia melainkan hanya mengatur tentang akhirat belaka.
4)      Menekankan perlunya toleransi semua golongan masyarakat tanpa mengenal perbedaan agama.
5)      Menjunjung tinggi penggunaan rasio dan kecerdasan

Satu hal yang serta kaitannya dengan rasionalisasi yang merupakan salah satu  ciri dari sekularisasi  ialah upaya untuk mencari cara yang secara teknis efesien demi mengurangi resiko dalam berbagai hal yang bersifat duniawi. Salah satu bentuknya yang nyata ialah teknologi. Mesin-mesin yang berteknologi tinggi dan efesien serta berbagai prosedur telah dirancang untuk mengurangi ketidakpastian, dan akibatnya hal ini telah mengurangi ketergantungan kepada keyakinan agama. Wilayah dimana agama menawarkan penjelasan yang bersifat doktriner  dan hasil yang hampir pasti serta dapat diprediksi kini menjadi hilang maknanya. Petani-petani yantg inovatif menemukan bahwa rotasi panen ternyata lebih ditentukan oleh tindakan membersihkan tanah dari semak-semak dan parasit dibandingkan memanjatkan doa. Perkembangan rasionalitas teknis secara perlahan menggantikan pengaruh supernatural dan pertimbangan moral, dan hal ini meluas di berbagai bidang kehidupan.
Satu hal yang perlu diterangkan dalam hubungannya dengan sekularisasi ini, yaitu konsep Islam tentang adanya “Hari Dunia” dan “Hari Agama”. Mengingkari adanya konsep yang cukup tegas itu, hayalah terbit dari gejala kecendrungan apologetis. Keterangan tentang hari agama dalam  kitab suci, kita semuanya mengetahuinya. Dan secara tegas dalam kitab suci Al-Qur’an di Surah Al-Infithar (82) ayat 17-19. Menarik kesimpulan dari ayat ini, maka hari agama ialah masa ketika hukum-hukum yang mengatur hubungan antar manusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan, yang terjadi sepenuhnya secara individual. Dengan perkataan lain, pada waktu itu tidak berlaku lagi  hukum-hukum sekuler atau dunia, dan yang berlaku ialah hukum-hukm ukhrawi.
Sebaliknya, pada hari dunia yang sekarang sedang kita jalani ini, belum berlaku hukum-hukum akhirat. Hukum yang mengatur perikehidupan kita ialah hukum-hukum kemasyarakatan manusia. Memang hukum-hukum itu  bukan ciptaan manusia sendiri, melanikan juga ciptaan Tuhan (sunnatullah), tetapi hukum itu tidak diterangkan sebagai doktrin-doktrin agama. Dan manusia sendirilah yang harus berusaha memahaminya, dengan bekal kecerdasan yang telah dianugerahkan kepadanya, kemudian memanfaatkan pengetahuannya itu untuk mengatur perikehidupan masyarakatnya lebih lanjut.
Oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dengan rasionalisme dan empirisme, sebab inti sekularisasi adalah pemahaman masalah dunia dengan mengarahkan kecerdasan rasio. Konsekwensi epistimologi sekuler dari segi aksiologi menyebabkan ilmu itu bebas nilai, karena nilai hanya diberikan oleh manusia pemakainya.
Masalah nilai dalam perkembangan ilmu sudah disoroti, terutama pada masa Copernicus pada abad ke-16 yang mwengemukakan bahwa bumi mengelilingi matahari sedangkan agama  pada waktu itu menyebutkan matahari yang mengelilingi bumi. Timbullah suatu konflik antara ilmu yang ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, dengan sikap yang berpendapat bahwa ilmu harus didasarkan pada nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan seperti agama. Perkembangan selanjutnya, para ilmuan berhasil memperoleh kemenangan agar ilmu bebas nilai. Artinya ilmu mempunyai otonomi untuk berkembang dengan tidak dipengaruhi nilai-nilai yang bersifat dogmatis, karena bebas nilai maka ilmu tidak boleh mempunyai tanggung jawab moral. Akhirnya ilmu berkembang untuk ilmu, mempunyai kebebasan bergerak kemanapun arahnya.







C.    MANFAAT MEMPELAJARI FILSAFAT ILMU DAN ILMU PENGETAHUAN
Menurut Narold H. Titus, filsafat adalah suatu usaha untuk memahami alam semesta, maknanya dan nilainya. Filsafat adalah kreatif, menerapkan nilai, menerapkan tujuan, menentukan arah, dan menentukan pada jalan baru. Filsafat tidak ada artinya apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.
Mempelajari filsafat Islam sekurang-kurangnya ada lima manfaat, yaitu
1. agar terlatih berpikir serius;
2. agar mampu memahami filsafat secara menyeluruh;
3. agar menjadi filsuf walaupun dalam bidang tertentu;
4. agar sungguh-sungguh dalam belajar mendalami suatu ilmu;
5. agar menjadi warga negara yang baik, patuh, dan produktif.
Secara konkret manfaat mempelajari filsafat adalah sebagai berikut :
1. Dapat menolong, mendidik, membangun diri sendiri untuk berpikir lebih mendalam dan menyadari bahwa ia adalah makhluk Tuhan.
2. Dapat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan-persoalan dalam hidup sehari-hari.
3. Dapat memberikan pandangan yang luas, membendung akuisme, dan akusentrisme.
4. Dapat melatih untuk berpikir cemerlang sehingga tidak hanya ikut-ikut saja, membuntut pada pandangan umum.
5. Dapat memberi dasar-dasar hidup dalam etika dan ilmu-ilmu pengetahuan seperti sosiologi, ilmu jiwa, ilmu pendidikan, dan ilmu-ilmu lainnya yang bermanfaat untuk kehidupan.
a.      Ilmu Pengetahuan Agama.
Pada ilmu pengetahuan keagamaan, menurut pandangan Al-Ghazali disebut dengan al-ulum al-syari’ah merupakan ilmu-ilmu yang diperoleh dari nabi-nabi dan tidak hadir melalui akal, seperti aritmatika; atau melalui riset, seperti ilmu kedokteran atau melalui pendengaran, seperti ilmu bahasa. Sedangkan ilmu-ilmu umum atau yang disebut dengan ilmu intlektual (al-ulum al-aqliyah) adalah berbagai ilmu yang dicapai atau diperoleh melalui intelek manusia semata.
Menurut Al-Syirazi, ilmu-ilmu agama itu dikategorikan ilmu-ilmu nonfilsafat (al-ulum ghairu hykmy). Ilmu-ilmu relegius diklasifikasikan menurut cara yang berbeda: (1) klasifikasi dalam ilmu-ilmu naqly dan ilmu-ilmu intelektual (aqly); (2) klasifikasi dalam ilmu tentang pokok-pokok (usul) dan ilmu tentang cabang-cabang (furu’).
Sedangkan Al-Farabi memasukkan ilmu-ilmu relegius pada kategori ilmu yurisprudensi dan teologisdialektis, meski ia tetap memasukkannya pada klasifikasi ilmu-ilmu filosofis. “Yurisprudensi” berhubungan dengan rukun iman dan ritus-ritus relegius dan perintah moral legal. Sedangkan teologis dialektis ini berkaitan dengan (1) rukun iman; (2) aturan-aturan relegius.
Ditinjau dari berbagai sudut pandang para cendikiawan Islam pada abad pertenganhan itu dapat dibedakan bahwa keilmuan Islam dengan berbagai penyebutannya: ilmu relegius, ilmu fardu ‘ain, ilmu non filsafat, ilmu yurisprudensi (fiqh) teologis dialektis dan sebagainya, berasas pada prinsif-prinsif ketuhanan (wahyu) dan kenabian (sunnah) tanpa harus mempertimbangkan potensi ‘aqal dalam implementasinya.

b.      Ilmu Pengetahuan Umum.
Ilmu-ilmu pengetahuan umum (al-ulum al-aqliyah) adalah ilmu yang dicapai atau diperoleh melalui pemikiran manusia semata. Al-Ghazali membagi kategori ilmu-ilmu umum ke dalam beberapa ilmu, Yaitu: (1) matematika (aritmatika, geometri, astronomi dan astrologi serta musik (2) Logika (3) Fisika atau ilmu alam (kedokteran, meteorologi, minerologi dan kimia. (4) Ilmu-ilmu tentang wujud di luar alam atau metafisika (ontologi, pengetahuan tentang esensi, sifat dan aktifitas ilahi, pengetahuan tentang substansi sederhana yaitu interligensi dan substansi malakut, pengetahuan tentang dunia halus, ilmu tentang kenabian dan fenomena kewalian, ilmu tentang mimpi, dan teurgi yakni ilmu menggunakan keuatan-kekuatan bumiuntuk menghasilkan efek tampak seperti supernatural.
Dari paradigma ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama di atas, menunjukkan semacam dikotomi di atara keduannya. Al-Ghazali misalnya mendikotomikan ilmu pengetahuan ke dalam ilmu relegius (agama) dan ilmu intelektual (umum) dilakukan dengan maksud untuk mempermudah untuk mengetahui klasifikasinya tentang ilmu pengetahuan ke dalam kategori ilmu fardlu ‘ain dan fardlu kifayah. Meski demikian Al-Ghazali tidak memandang ilmu pengetahuan umum dan agama bertentangan. Karena keduanya saling melengkapi. Keterbatasan akal sebagai sumber pengetahuan umum, mengharuskan padanya bimbingan wahyu yang sumber pengetahuan Islam. Demikian juga dalam memahami ilmu-ilmu agama sumbernya adalah wahyu memerlukan interpretasi akal (rasional).
Menurut Naquib Al-Attas, kebanyakan ilmu dan disiplin ilmu, khususnya yang mendapat pengaruh filsafat Yunani (Aristoteles dan Meoplatonisme) pada kemajuan Islam telah di Islamkan oleh pelbagai cendikiawan dan cerdik pandai yang memiliki otoritas di bidangnya dan mendapatkan pendidikan yang mengintegrasikan dua kategori fardu ‘ain dan fardlu kifayah serta menguasai ilmu-ilmu yang relevan. Diantaranya seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sunah, yang telah berusaha keras mengintegrasikan asfek-asfek tertentu dari elemen-elemen filsafat Yunani ke dalam pandangan dunia Islam.
Kemudian kenyataan yang dapat di lihat seperti sebuah prestasi yang tidak tertandingi adalah kemampuan ummat Islam dalam mengembangkan ilmu-ilmu baru yang diilhami Islam, seperti ilmu tafsir al-Quran dan ilmu hukum (fiqh) oleh Malik, Abu Hanifah, dan Syafi’i, teologi (kalam) oleh Asy-Ari dan Al-Maturidi, Psikologi spiritual-kognitif dan behavioral oleh sufi, perbandingan agama oleh Bairuni, Al-Syahrastani, Ibnu Hizm dan lain-lain.

D.    URGENSI EPISTEMOLOGI ISLAM
Epistemologi, biasanya didefinisikan sebagai cabang ilmu filsafat yang membahas ilmu pengetahuan secara menyeluruh dan mendasar. Secara ringkas, epistemology disebut juga sebagai “theory of knowledge” atau teori ilmu pengetahuan.[1]
Epistemology berbicara tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana manusia bisa meraih ilmu. Sementara itu, Knowledge atau ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Islam khususnya, agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan. Sebut saja Al-Qur’an, kitab ini begitu besar perhatiannya terhadap aktivitas pemikiran dan keilmuan. Tergambar dari penyebutan kata “al-ilmu’ mencapai 823 kali di dalam AL-Qur’an.
a.      Islam Ilmu Yang Jelas
Kita tahu bahwa Nabi pertama menurut Ilmu yang di dapat ialah Adam A.S, dan ilmu yang pertama kali diajarkan kepada Adam a.s adalah pengetahuan mengenai nama-nama benda.[2] Kemudian wahyu yang pertama diturunkan kepada Muhammad saw, berkaitan dengan perintah membaca (iqra) dan menulis yang disimbolkan dengan “pena”. Wahyu ini pun sudah berbicara tentang proses penciptaan manusia yang berasal dari “al alaq” (sesuatu yang melekat). Namun dingatkan sejak awal bahwa proses membaca dan belajar tidak boleh dipisahkan dari dasar keimanan.[3]
Semua harus dilakukan dengan Nama Allah swt “iqra bismirabbikalladzi khalaq”. Karena itulah tradisi ilmu dalam islam itu sejak awal sudah bersiafat “tauhidiy”, tidak sekuler, tidak mendikotomikan antara unsur dunia dan unsur akhirat, antara ilmu-ilmu dunia dan ilmu akhirat. Ingat bahwa semua ilmu itu bermuara pada satu tujuan, yaitu untuk menganal (ma’rifah) kepada Allah swt dan mencintai ibadah kepadaNya.
Al-Qur’an begitu banyak memuat ayat-ayat yang mendorong umat manusia untuk senantiasa meningkatkan keilmuannya. Bahkan, akyivitas sehari-hari pun harus ditandai dengan aktivitas keilmuan atau yang terkait dengan ilmu. Karena itu, islam sangat menekankan bahwa ada perbedaan antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Orang yang berilmu dan beriman, akan diangkat derajatnya. Sebagai mana Wahyu Allah swt:
“….katakanlah, tidaklah sama orang yang tahu dan orang yang tidak tahu…” (Az-Zumar:9)
“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu, beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11).
Sabda Rasulullah saw:
“Barang siapa yang dikehendaki Allah dengan kebaikan, maka Allah akan menjadikannya Faqih (memahami dengan baik) dalam masalah agama dan mengilhami petunjukNya” Muttafaq ‘alaih
Para pencari ilmu juga diberika penghargaan yang sangat tinggi. Kaum muslimin khususnya harus bisa bahkan wajib memanfaatkan dengan sekuat tenaga untuk mencari ilmu (thalabul ilmi). Selain pahalanya yang sangat besar, ilmu juga menjadi landasan keimanan dn landasan amal. Banyak orang yang terperdaya oleh nikmat sehat dan kelonggaran, sehingga tidak dapat memanfaatkan waktu itu dengan baik. Rasulullah saw bersabda :
“dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat kesehatan dan nikmat waktu lapang.” (H.R.Bukhari)
Maka jelas sudah menjadi kewajiban kita bersam untuk bisa memanfaatkan waktu kita sebaik mungkin, dan selalu bersyukur atas apa yag Allah berikan kepad kita dan kita harus terus semangat di dalam mencari ilmu agar mampu menegakkan kebenaran dan menghilangkan kejelekan.
b.      Tujuan Ilmu
Karena memang kedudukan ilmu itu mulia, maka tentu ilmu memiliki tujuan yang mulia pula. Dalam islam, tujuan utama dari ilmu adalah untuk mengenal Allah swt dan meraih kebahagiaan (sa’adah), sebab ilmu mengkaji tentang ayat-ayat (tanda-tanda) keagungan Allah swt.
c.       Fakta Sejarah
Konsep islam tentang ilmu yang integral sudah pernah terbukti dan diaplikasikan dalam sejarah. Fakta-fakta perkembangan sejarah sains selama ratusan tahun di dunia islam-termasuk di barat (Andalusia) membuktikan bahwa untuk meraih perkembangan sains yang tinggi bisa diraih dengan konsepsi sains yang tidak sekuler yakni sains yang berbasis pada konsep tauhid.
Seorang sejarawan asal Irlandia, Tim Wallace Murphy, dalam bukunya what islam did for us: (London; Watkins Publishing, 2006), menggambarkan kejayaan keilmuan islam yang kemudian memberikan jasa besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern di barat. Ia membuat perbandingan kehidupan peradaban islam dan peradaban barat di masa kejayaan islam di Andalusia (Spanyol).
Berdasarkan kajiannya yang cukup serius terhadap sejarah hubungan barat dan islam, beliau mengajak barat untuk tidak memandang Islam sebelah mata, sehingga menganggap kaum muslim harus diajari dan didekte untuk menyelesaikan masalah mereka. Ia yakin, kaum muslim mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Dan berkat prinsif-prinsif dasar keimananya, maka islam akan mampu mewujudkan kehidupan yang penuh kedamaian dan penuh toleransi terhadap agama dan budaya lain.



[1] AMW Pranaka, Epistemologi dasar: suatu pengantar, (Jakarta : CSIS, 1987).
[2] Al-Qur’anul karim terjemah sunda, CV, Diponegoro Bandung 2003
[3] ibid